Demo yang dilakukan dokter indonesia yang tergabung dalam IDI 27 November lalu membuat berang banyak orang. Terganggunya layanan kesehatan di banyak rumah sakit, berapa banyak orang yang tadinya setengah sakit menjadi bertambah sakit, orang yang tadinya seharusnya bisa ditangani dengan baik malah jadi tambah parah.
Mungkin karena kesahalah itulah para wartawan berani mengungkap fakta tentang dokter itu sendiri. Seperti ada seorang dokter yang disiram mukanya dengan kopi panas oleh seorang pasien baru-baru ini di Jakarta karena berasik ria dengan perangkat komuniasi BB. Ada juga dokter di sumatera yang tertangkap tangan membawa shabu. Belum lagi dr Ida cs yang diperjuangkan rekan-rekan sesama IDI karena dianggap lalai akan nyawa pasien saat operasi.
Saya sendiri mengalami langsung melalui istri saya saat proses persalinan anak ke 2 saya disebuah rumah sakit swasta di Jakarta Timur. Dimana saat kejadian mau menyuntik bius 3 orang team dokter melahirkan terlibat tawar menawar sebuah gadget bekas milik salah satu dokter. Jika tidak diteriaki istri saya (mungkin) saya termasuk salah satu korban seperti dr Ida cs dan mungkin banyak lagi korban lainnya.
Saya tidak menyalahkan dokter yang ada sekarang. Keberadaan mereka sangat diperlukan cuma saya melihat ada kelemahan dalam sistem perekrutan dokter muda yang ada sekarang. Jika kita berkaca pada profesi dokter 30 tahun lalu dokter itu identik dengan siap sedia kapan saja, tanpa pamrih, rasa sosial yang tinggi, bukan profit oriented. Namun saat ini saya melihat nilai itu sudah pudar. faktanya kalau mau jadi dokter muda saat ini anda harus jadi jadi orang kaya dan segudang persiapan lainnya. Itus semualah yang diungkap oleh Dr. Handrawan Nadesul melaui tulisan singat aku malu jadi dokter indonesia berikut ini
Harus diakui kekuasaan profesi dokter kelewat tinggi. Apa pun yang diminta dokter pasien hanya bisa patuh saja. Ketidaktahuan medik pasien membuat pasien tak berdaya di hadapan dokter. Moral dokter bisa tergoda mencari untung dari ketidaktahuan pasien.
RUMAH (yang) SAKIT
Resep dokter ditulis tak rasional, lebih banyak pasien berobat kalau punya uang saja, komersialisasi layanan medik, layanan medik dirasakan tak manusiawi.
Radhar Panca Dahana mengeluh buruknya layanan medik kita (Kompas, 14 Maret 2009). Tulisan itu mewakili nasib banyak pasien. Yang diungkapnya fakta keresahan tak sedikit pasien kita. Betul harus diakui banyak pasien kita terpojok sebagai pihak yang dirugikan.
Itulah potret layanan medik yang dibaca dengan kacamata bukan orang medik. Saya ingin mengulasnya dari kacamata pekerja medik.
Membangun di hulu
Untuk menguak mengapa layanan medik kita meresahkan masyarakat, tugas dan kewajiban pekerja medik kita perlu dikenali masyarakat.
Lebih banyak rakyat Indonesia baru berobat kalau punya uang. Dua pertiga dari mereka tidak sekolah tinggi dan lemah kemampuan hidup sehatnya. Karena itu, arah pembangunan kesehatan kita jelas garisnya pencegahan.
Dengan konsep pencegahan (primary health care) kesehatan di hulu kita bangun. Pilihan itu dinilai lebih efisien. Lihat saja Banglades. Bukan sebab anggaran kesehatan dinaikkan maka Banglades lebih sehat dari kita, melainkan karena Banglades teguh melakukan layanan pencegahan.
Membangun di hulu ongkosnya jauh lebih murah. Karena jika hulu tidak dibangun, di hilir jumlah orang sakit terus meningkat. Karena angka penyakit meningkat, anggaran habis buat belanja obat. Belanja obat lebih mahal ketimbang ongkos bikin rakyat tidak sakit sejak di hulu.
Puskesmas menjadi tulang punggung pembangunan kesehatan di hulu. Namun, puskesmas bukan rumah sakit sehingga hanya mampu melayani satu dari lebih 12 program. Di sana, masyarakat kita yang masih belum melek sehat dilatih menjadi pintar agar tidak sakit. Namun tidak semua puskesmas mampu melakukan pembangunan di hulu. Akibatnya, rumah sakit masih seperti pasar malam. Yang dilayani melebihi kapasitas yang melayani. Maka, layanan medik cenderung tak profesional.
Konsekuensi sistem
Dari dulu sukar mengatur distribusi tenaga dokter. Semua dokter muda kepingin praktik di kota besar supaya lekas maju. Kalaupun mau di puskesmas, apalagi di daerah terpencil, mereka minta imbalan gaji atau janji spesialisasi. Hal itu normal, bukan saja sekolah dokter memakan waktu lama dan ongkosnya tidak kecil, tetapi juga pencitraan: bukan dokter kalau tak punya rumah dan mobil pribadi.
Citra kumuh dokter mengurangi kepercayaan pasien. Profesi dokter butuh faktor trust. Di mata pasien, lulus cum laude saja tak cukup, kalau dokter pergi praktik naik ojek.
Berbeda dengan dokter di negara dengan sistem layanan medik, citra profesi cukup dibangun dengan berpraktik di satu rumah sakit. Perhatian dan konsentrasi kerja dokter tak perlu pecah terbagi mencari tambahan di tempat lain.
Lebih berat
Bobot kerja profesi dokter kita jauh lebih berat daripada dokter negara maju. Pasien puskesmas bisa ratusan. Bagaimana bisa teliti memeriksa. Akibatnya, kesehatan gagal dibangun di hulu sehingga orang sakit terus meningkat.
Tugas dokter puskesmas bukan hanya memeriksa pasien. Dua pertiga jam kerjanya harus di lapangan untuk menyuluh, rapat dengan pamong, dan meninjau masyarakat.
Bobot kerja dokter rumah sakit juga melebihi ketika bekerja profesional. Tak heran kalau ada profesor kita yang salah membaca hasil rontgen. Tentu bukan karena kebodohan. Kasus malapraktik acap terjadi akibat bobot kerja dan kondisi profesi seperti dipikul rata-rata dokter kita.
Kekuasaan dokter
Harus diakui kekuasaan profesi dokter kelewat tinggi. Apa pun yang diminta dokter pasien hanya bisa patuh saja. Ketidaktahuan medik pasien membuat pasien tak berdaya di hadapan dokter. Moral dokter bisa tergoda mencari untung dari ketidaktahuan pasien.
Sekolah dokter mengajarkan agar menulis resep rasional. Kalau ada obat lebih murah dengan efek sama mengapa menulis yang lebih mahal. Kalau tak perlu dirawat atau wajib operasi, mengapa memilih memberatkan pasien. Sumpah dokter melarang memperlakukan pasien seperti nomor. Dokter wajib menjawab pertanyaan pasien, menjelaskan sebelumnya mengenai operasi yang akan dilakukan.
Industri medik juga meningkatkan overutilisasi alat pemeriksaan (karena memeriksa apa saja yang sebetulnya tidak diperlukan) menjadikan rakyat yang sungguh memerlukan akhirnya tak mendapatkannya sehingga mereka merasa diperlakukan diskriminatif. Di beberapa negara ada regulasi pembatasan jumlah pasien sehari. Kita tidak.
Sekarang terjawab mengapa kalau lebih sering muncul kasus malapraktik, kalau pasien lebih sering bertemu dokter yang tak ramah (misconduct). Sebagian muncul sebagai konsekuensi sistem kesehatan yang kita pilih, tingginya otonomi dokter, dan moral profesi yang goyah. Ditambah dengan struktur penggajian tenaga dokter dan kebijakan praktik dokter membuat masyarakat masih berpikir untuk berobat ke Ponari. Ketika rakyat masih memerlukan layanan kesehatan primer, industri medik malah terus menekan.
Sebagai dokter, tak patut bila karena potret buruk, cermin dibelah. Namun, karena profesi dokter masih dipagari oleh etika profesi, posisi saya serba salah. Otokritiknya, perlu solusi membangun ”praktik bersama” agar berlangsung proses tilik-sejawat (peer review) sehingga kekuasaan dokter tidak tanpa batas.
Untuk itu sistem kesehatan saatnya menggratiskan setiap warga negara. Kita mampu melakukannya. Pendidikan etika medik menjadi modul tersendiri bagi setiap calon dokter sehingga pembangunan kesehatan di hulu dapat berhasil.
Bila rakyat makin pintar sehat, makin kritis, dan skeptik, makin berkuranglah kekuasaan dokter. Dokter tak berani berpraktik seenaknya lagi. Kekuasaan dokter perlu dibagi untuk hak pasien. Hukum kedokteran saatnya ditegakkan. Walau tidak setiap kasus yang merugikan pasien adalah salah pihak medik, dan masih banyak dokter yang baik, tetapi jika perubahan di atas tak terjadi, aku malu jadi dokter Indonesia.
Oleh: Dr. Handrawan Nadesul
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/04/25/0326331/malu.aku.jadi.dokter.indonesia
https://www.facebook.com/photo.php?fbid=179958492199787&set=a.112599502269020.1073741828.100005569115852&type=1
https://www.facebook.com/photo.php?fbid=179958492199787&set=a.112599502269020.1073741828.100005569115852&type=1
No comments:
Post a Comment
Semua perbedaan pendapat sangat dihargai di Blog Opini Indonesia, pastinya yang terbaik untuk membangun bangsa ini. Salam Blogger Indonesia